Sabtu, 10 Oktober 2009

-BID’AH, dasar dan pemikiran

Kajian untuk warga NU.
Oleh : A.Adib Masruhan.
Merupakan hal yang sangat krusial dan sering menyebabkan benturan yang tidak mengenakkan di masyarakat adalah pemahaman kata bid’ah, dimana istilah ini sering digunakan oleh berbagai kelompok untuk memberikan trade mark atas segala amalan warga NU, mulai dari kegiatan dan amalan seperti usholli, qunut, wirid, bedug dan kenthongan dimasjid, memperingati kematian dengan 7 hari, 40 hari dan seterusnya, haul bagi para sesepuh, perayaan maulid Nabi SAW, dan masih banyak lagi amaliyah yang dianggap Bid’ah, sehingga warga NU dikelompokkan sebagai Ahli Bid’ah, Musyrik bahkan tren yang baru mengatakan bahwa amalan warga NU tersebut telah masuk pada Kufur (predikat yang diberikan oleh sebagian kelompok yang menyebut dirinya salafi atau Wahabi), dan oleh warga NU sendiri dengan rasa sakit, predikat tersebut disimpannya rapat rapat dalam hati, mengingat karena kurangnya penguasaan terhadap referensi atas amaliyah yang dilakukan. Rata rata mereka mempelajari agama dimulai dan diakhiri dengan kitab kuning, yang sebagian besar tidak menyebutkan dasar / dilandasi dengan argumen dari Alqur’an dan Hadits sebagaimana tuntutan mereka yang suka membid’ahkan.
Dalam posisi seperti ini, dengan kultur yang defensive dan tidak mudah untuk menyerang, serta menyalahkan orang lain, mereka hanya diam seakan tidak terusik oleh ungkapan orang lain yang suka memojokkan, walaupun dihati penuh tanda tanya bagaimana menjawabnya?.
Kita simak bersama bagaimana sebetulnya bid’ah itu sendiri, dan bagaimana selukbeluk yang ada dan perlu diketahui serta batasan batasannya.
Istilah bid’ah secara bahasa البِدْعَة : بَدَعَ – بِدْعًا – اِبْتَدَعَ الشَيْئَ Yang mempunyai arti : menciptakan sesuatu yang belum pernah ada.
Atau dengan ungkapan lain : مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ yang artinya : sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumya.
untuk mengenal bid’ah secara istilah, kita harus mengkaji terlebih dahulu beberapa teks hadits yang mengurai permasalahan bid’ah, seperti berikut ini:

1.
1436 عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ الله قَال: قَالَ رَسُولُ الله ِصَلَّى الله عليه وسلم: أَمَّا بَعْدٌ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ، وَشَرَّالأمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
رواه مسلم في صحيحه
Jabir ibn Abdillah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Amma ba’du, sebaik baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, hal yang paling jelek adalah yang baru (dalam agama), dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR Muslim)

Dalam hadits ini dinyatakan bahwa hal yang baru dalam agama (almuhdatsat) disebut dengan bid’ah.

2.
42 عَنِ العِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَة يَقُوْلُ: قَامَ فِينَا رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ، فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً، وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ، وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ الله وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدَّعٍ، فَاعْهَدْ عَلَيْنَا بِعَهْدٍ، فَقَالَ : عَلَيكُمْ بِتَقْوَى الله وَالسَّمْعَ وَالطَاعَةَ، وَإِنْ عَبْداً حَبَشِياً، وَسَتَرَوْنَ بَعْدِيْ إِخْتِلاَفاً شَدِيْداً, فَعَلَيْكُمْ بِسُنّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِِيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ, وَإِيَّاكُمْ وَالأُمُوْرَ المُحْدَثَاتِ, فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
رواه ابن ماجه 1/15
Dari Al Irbadl ibn Sariyah berkata: pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri dihadapan kita dengan memberi tausiyah / mauidhoh yang menyentuh sehingga menggetarkan hati yang mendengar, membuat air mata mengalir, lantas ada seorang sahabat yang menyatakan: Ya Rasulullah, engkau telah memberi nasehat kepada kami seperti sebuah pamitan, maka berilah kami janji dan pesan. Rasulullah mengatakan: kamu sekalian harus selalu takwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin), walaupun pemimpinya adalah seorang sahaya yang hitam (negro). Setelahku nanti kamu akan menjumpai perselisihan pendapat yang hebat, kamu harus menepati ( tetap berpegang) pada Sunnahku dan sunnah kholifah kholifah yang mendapat petunjuk (setelahku), gigitlah dengan gigi geraham (pegang erat erat), dan hindarilah hal hal yang baru, karena setiap bid’ah (hal baru) itu sesat. (HR Ibnu Majah)

Dalam hadits ini diramalkan oleh Rasulallah SAW bahwa akan terjadinya perselisihan dan perpecahan, yang kemudian akan menimbulkan saling kritik dan adu argumentasi, sehingga suatu kelompok menggunakan dalil tertentu dan kelompok lain akan berdalil dengan hujjah yang lain pula, maka dalam kondisi begini dan bila hal itu terjadi kita disuruh berpegang dengan kuat pada Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa al Rosyidin, dan ditekankan untuk menghindari hal hal yang baru yang beliau sebut dengan bid’ah yang dlolalah (tersesat). Dalam hadits ini pula di tekankan untuk berpegang kuat pada sunnah Nabi dan sunnah Khulafa al Rosyidun dan menghindarkan dari yang disebut bid’ah, sehingga bisa dipahami apa yang pernah dilakukan atau diputuskan oleh para khulafa al Rosyidun itu bukan termasuk hal yang bid’ah, bahkan bisa sebagai dalil atau hujjah.

3.
1560 عن جابر بن عبدالله قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول في خطبته: يحمد الله ويثني عليه بما هو اهله، ثم يقول: من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلله فلا هادي له، إن أصدق الحديث كتاب الله، وأحسن الهدى هدى محمد، وشر الأمور محدثاتها, وكل محدثة بدعة, وكل بدعة ضلالة, وكل ضلالة في النار، الحديث
رواه النسائي في صلاة العيدين
Dari Jabir ibn Abdullah berkata: Rasulullah pernah mengatakan dalam khutbahnya, setelah memuji kepada Allah dan mengagungkanya, karena Allah lah yang pantas menerima pujian: Orang yang diberi petunjuk oleh Allah tidak akan ada yang menyesatkanya, dan orang yang disesatkanya maka tidak akan ada yang bisa memberi petunjuk. Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan sesuatu yang terjelek adalah hal yang baru (dalam Agama), setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah tersesat, dan setiap yang tersesat masuk neraka… al hadits. (HR Nasa’i)

Kalau dalam hadits ini dijelaskan dan dipertegas rangkaian dampak negatif yang timbul dari bid’ah itu sendiri, bahwa setiap hal yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah itu tersesat (dlolalah), serta setiap yang dlolalah itu masuk neraka. Dampak seperti ini yang justru dikawatirkan oleh beliau, dengan melakukan hal bid’ah maka seseorang seakan beribadah tapi terjerumus ke neraka.

4.
2601 عن كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف الزني عن أبيه عن جده ، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال بن الحارث:إعلم، قال: ما أعلم يا رسول الله، قال: إعلم، قال: ما أعلم يا رسول الله، قال: إنه من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي فإن له من الأجر مثل من عمل بها من غير أن ينقص من أجورهم شيئا، ومن ابتدع بدعة ضلالة لاترضي الله ورسوله كان عليه مثل أثام من عمل بها لاينقص ذلك من أوزار الناس شيئا.
رواه الترمذي وقال حديث حسن
Dari Kasir ibn Abdillah ibn Amr ibn Auf al Muzani, dari bapaknya, dari kakeknya, Nabi SAW berkata kepada Bilal ibn Harits: Ketahuilah, jawab bilal: Apa yang harus aku ketahui ya Rasulullah? Beliau berkata: ketahuilah, jawab bilal: Apa yang harus aku ketahui ya Rasulullah? Beliau berkata: bahwasanya barang siapa menghidupkan kembali salah satu dari sunnahku yang telah mati setelahku, maka dia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala pahala mereka, dan barang siapa mengadakan bid’ah dlolalah (hal baru yang sesat) yang tidak diridloi oleh Allah dan Rasul Nya, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang orang yang melakukan tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka. (HR Tirmidzi)

Dari hadits ini ada perbedaan sedikit yang bisa kita ambil kesimpulan yaitu bahwa Nabi SAW mengatakan ungkapan “bid’ah dlolalah” (kata bid’ah disifati dengan dlolalah) yang dilanjutkan dengan tidak diridloi oleh Allah dan Rasulnya, menunjukkan bahwa ada lawanya yaitu kata bid’ah yang nantinya disifati dengan hasanah, yang seirama atau semisal dengan norma Islam atau sunnah.

5.
عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد (متفق عليه)
عن عائشة رضي الله عنها قالت: ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد (متفق عليه)

Dari Aisyah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: barang siapa mengadakan hal yang baru dalam urusan kami (agama Islam), sedang aslinya tidak ada didalamnya maka ditolak (Muttafaq alaih).
Dari Aisyah RA berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: barang siapa melakukan amaliyah (kegiatan, aktivitas, ibadah) yang tidak ada perintah saya, maka amaliyah tersebut ditolak. (Muttafaq alaih).

Kalau dalam kedua hadits yang muttafaq alaih ini dinyatakan bahwa amalan atau kegiatan yang dilakukan bukan atas perintah Rasulullah atau tidak ada dasar haditsnya merupakan hal yang ditolak, mardud atau amalan tersebut tidak mendapat pahala, bahkan kalau termasuk kategori bid’ah maka mengamalkanya bisa berdosa, dan diancam dijerumuskan ke neraka.

Dengan memahami beberapa hadits diatas dan hadits hadits senada yang lain yang tidak sempat kami sebutkan disini, maka dapat disimpulkan bahwa yang disebut sebagai bid’ah adalah “sesuatu yang baru dalam agama Islam yang tidak ada dasarnya baik secara jelas maupun samar”
Penjelasannya, kata sesuatu yang baru adalah segala kegiatan atau amalan yang dianggap ibadah dan mengharapkan pahala atasnya, jadi bukan yang terkait dengan duniawi, bukan kegiatan atau aktivitas yang tidak ada nilai ibadahnya, itu dikaitkan dengan bid’ah, seperti bepergian menggunakan mobil, makan dengan sendok dan garpu, memakai pakaian dengan mode dan gaya masa kini dan lain lain yang murni berupa urusan duniawi tidak masuk dalam pembicaraan bid’ah ini.
Dalam agama Islam dimaksudkan bukan duniawi, dan oleh pelakunya diniatkan ibadah, mencari pahala, seperti gerakan yang seirama dengan sholat, tapi kalau diniati olah raga tidak termasuk dalam bid’ah karena tidak masuk ajaran dalam agama Islam. Sedang kata tidak ada dasarnya baik secara jelas maupun samar, adalah amaliyah tersebut bukan untuk melaksanakan suatu ajaran Islam, atau tidak ada landasan dari perbuatan itu, baik sesuai teks dari nash maupun tersirat dalam nash ayat atau hadits.
Dalam melihat sesuatu yang baru termasuk bid’ah apa tidak kita harus mengkajinya apakah sesuatu tersebut ada dasarnya apa tidak, yang dimaksud dasar disini adalah Alqur’an dan Hadits sebagaimana tuntutan dari para pembicara bid’ah itu sendiri, sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah SAW bahwa dalam beragama ini agar tidak tersesat, amaliyah kita keseharian untuk selalu bepegang dan sesuai dengan ajaran Alqur’an dan Alhadits.
Sabda Rasululllah Saw :
1395 عن مالك أنه بلغه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم: كتاب الله وسنة نبيه
رواه مالك في الموطأ
Dari Imam Malik menyatakan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “aku wariskan (tinggalkan) kepada kamu sekalian dua hal; kalian tidak akan tersesat bila berpegang padanya; yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabinya”

Dalam perkembangan Islam sampai sekarang kita tidak lepas dari berbagai masalah yang timbul, padahal permasalahan tersebut secara langsung tidak kita temukan pada teks teks agama, maka sebagaimana restu Rasulullah SAW kepada Muadz ibn Jabal ketika dilantik untuk memegang tugas sebagai gubernur di wilayah Yaman, beliau menyampaikan :

عن معاذ : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين بعثه الى اليمن فقال: كيف تصنع إن عرض لك قضاء ؟ قال: أقض بما في كتاب الله، قال: فإن لم يكن في كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: فإن لم يكن في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قال: أجتهد رأيى لا آلو، قال: فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدري، ثم قال: الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله صلى الله عليه وسلم لما يرضى رسول الله صلى الله عليه وسلم.
رواه أحمد والترمذى وأبو داود والدارمى
Dari Muadz: pada waktu Rasulullah SAW mendelagisakanya ke Yaman beliau bersabda: Apa yang akan kamu lakukan bila menemukan permasalahan untuk mendapatkan keputusan? Jawab Muadz: akan aku putuskan dengan kitab Allah, Kata Rasullullah: kalau tidak ditemukan dalam kitab Allah? Jawab Muadz: dengan menggunakan Sunnah Rasulullah, kata Rasulullah: kalau tidak ditemukan pada Sunah Rasulullah? Jawab Muadz: aku berijtihad dengan akalku dengan tidak berlebihan. Muadz berkata: kemudian Rasulullah menepuk dadaku sambil mengatakan Alhamdulillah Dzat yang memberikan kebenaran pada utusan Rasulullah sesuai yang diinginkan oleh Rasulullah SAW. (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud dan Darimi)

Dengan demikian bahwa akan ditemukan berbagai permasalahan yang belum pernah dibahas atau diberi contoh oleh Nabi SAW, sehingga sahabat Muadz menyatakan akan melakukan ijtihad dengan akalnya, dan itupun mendapat restu dari Nabi SAW, namun tetap disyaratkan (sesuai yang diinginkan oleh Rasulullah SAW) dengan maksud tidak bertentangan dengan ajaran yang pernah beliau sampaikan.
Begitu pula system pengadilan yang diterapkan dan merupakan undang undang peradilan pada masa pemerintahan Umar ibn Khathab sebagaimana dikisahkan oleh seorang hakim bernama Syuraih sebagai berikut:

5304 عن شريح أنه كتب الى عمريسأله، فكتب إليه: أن اقض بما في كتاب الله، فإن لم يكن في كتاب الله فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، فإن لم يكن في كتاب الله ولا في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، فاقض بما قضى به الصالحون، فإن لم يكن في كتاب الله ولا في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يقض به الصالحون، فإن شئت فتقدم، وإن شئت فتأخر، ولا أرى التأخر خيرا لك، والسلام عليكم.
رواه النسائى
Dari Syuraih: bahwasanya dia menulis surat konsultasi kepada Khalifah Umar (tentang system peradilan yang berlaku), maka umar mengirim kepadanya aturan tersebut: putuskan lah segala permaslahan dengan berlandaskan aturan yang ada pada kitab Allah, dan bila tidak ditemukan dalam kitab Allah maka menggunakan Sunnah Rasulullah SAW, dan bila tidak ditemukan di kitab Allah dan juga tidak ada pada Sunnah Rasulullah maka ambillah hasil putusan yang pernah dihasilkan oleh para hakim yang saleh, dan bila tidak ditemukan di kitab Allah dan juga tidak ada pada Sunnah Rasulullah dan belum pernah diputuskan oleh para hakim yang saleh, maka bila kamu kehendaki putuskanlah sendiri, dan bila kamu tidak menghendaki jangan kamu putuskan, dan saya tidak berpikiran bahwa tidak mengambil putusan adalah jalan terbaik bagimu, (yang terbaik adalah mengambil putusan) wassalamu alaikum. (HR Nasai)

Dalam konteks pengambilan putusan atau penggalian hukum yang dilakukan oleh ulama salaf mereka melakukan berbagai pertimbangan pertimbangan sehingga apa yang dihasilkan akan selalu sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah dan Rasulnya, sebagai pertimbangan tersebut diantaranya:

1691 عن جرير بن عبد الله بن جابر، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها بعده من غير ان ينقص من أوزارهم شيء.
رواه مسلم في صحيحه

Dari Jarir ibn Abdullah ibn Jabir, Rasulualllah SAW bersabda: Siapa yang membuat aturan / amaliyah yang baik dalam Islam maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang mengikuti setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan siapa yang membuat aturan / amaliyah yang tidak baik dalam Islam maka dia akan mendapatkan dosanya dn dosa dosa orang yang mengikuti setelahnya tanpa mengurangi dosa dosa mereka sedikitpun. (HR Muslim)

Ulama salaf dalam mengambil suatu tindakan hukum selalu mempertimbangkan untuk tetap mengacu hadits diatas selalu mengusahakan untuk menjadi Sunnah Hasanah, pertimbangan agar tetap dalam koridor Sunnah Hasanah tersebut mereka mengacu dari Atsar Ibnu Mas’ud berikut:

2418 عن عبد الله بن مسعود قال: فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن، وما رأوا سيئا فهو عند الله سيئ
رواه أحمد في المسند

Dari Abdullah ibn Mas’ud berkata: apa yang dilihat oleh orang orang muslim sebagai hal yang baik, maka menurut Allah adalah baik, dan apa yang dilihat orang orang muslim sebagai hal yang buruk maka menurut Allah adalah buruk pula. (HR Ahmad)

Kesimpulan yang bisa kita ambil dari berbagai hadits diatas adalah sebagai berikut:
1. Bid’ah adalah sesuatu yang baru dalam agama Islam yang tidak ada dasarnya baik secara jelas maupun samar. (hadits no 1,2,3)
2. Segala amliyah / kegiatan dalam agama bila dianggap sebagai ibadah harus ada dasarnya baik dari Alqur’an maupun Hadits. (Hadits no 5)
3. Dalam hadits no 2 disebutkan kita selain menggunakan hujjah / dalil / argument dari Alqur’an dan Hadits Rasulullah, kita di perintahkan mengapreasi terhadap produk hukum (sunnah) yang dihasilkan oleh para khulafa Rosyidun, juga berhujjah dengan menggunakan apa yang telah dihasilkan atau hukum yang telah diputuskan oleh para ulama salaf yang sholeh, bahkan bagi para penegak hukum seperti seorang hakim, seperti ada kewajiban untuk berijtithad karena hasilnya selalu ditunggu oleh umat, dan apabila tidak mengambil sikap (ijtihad) maka umat akan dibiarkan tanpa ada ketentuan hukum yang dipatuhi. (Sunnah / Surat Umar ibn Khothob kepada Hakim Syuraih)
4. Seorang muslim dituntut untuk membuat kreasi baru atau sunnah hasanah dalam agama Islam yang penting berada dalam norma dan koridor Islam, dalam kata lain tidak bertentangan dengan nash yang ada. (Hadits Jabir 1691)
5. Kreasi, sunnah, kegiatan atau amaliyah dianggap sebagai hasanah jika memenuhi kriteria secara umum, dianggap amaliyah baik oleh mayoritas muslimin dan berada dibawah ajaran yang ada dasar haditsnya serta tidak bertentangan dengan nash. Seperti amaliyah puasa dalail berada pada dasar ajaran bahwa puasa secara umum dianjurkan oleh agama, maka puasa tersebut dianggap sunnah hasanah walaupun tidak ada anjuran maupun dasar perintah tentang puasa tersebut, dan tidak bertentangan dengan dasar pokok tentang puaa, seperti puasa wishol, dua hari dua malam berturut turut tanpa buka puasa. (Atsar dari Abdullah Ibn Mas’ud 2418)
6. Dasar yang digunakan harus hadits yang Shohih atau Hasan kedudukanya, sedang hadits yang dloif, yang tidak sangat kedloifannya, hanya bisa untuk sekedar menunjukkan keutamaan amaliyah tertentu, atau menceritakan kisah masa lalu, dengan persyaratan yang telah diuraikan dalam ilmu hadits. (dasar teori Ilmu Hadits)
7. Hadits yang tergolong maudlu’ atau palsu tidak bisa digunakan untuk apapun, kecuali hanya sekedar utuk contoh atau pembelajaran bahwa itu adalah hadits maudlu.( dasar teori Ilmu Hadits)
8. Bid’ah ada yang mengatakan terbagi menjadi dua bagian; yaitu bid’ah hasanah atau mahmudah dan bid’ah sayyi’ah atau madlmumah atau dlolalah. Sebagimana hadits nomer 4 (empat) diatas. Namun ada juga ulama (Izzuddin ibn Abdus Salam) yang membagi bid’ah menjadi 5 (lima) bagian sesuai dengan hukum agama dilihat dari kepentingan bid’ah itu sendiri.
a. Bid’ah wajibah seperti pendirian sekolah dengan system klasikal.
b. Bid’ah Masnunah seperti melaksanakan tahlilan untuk jenazah seseorang.
c. Bid’ah Mubahah seperti memperingati orang mati dengan hitungan hari tertentu ( hari ketuju, empat puluh dan seterusnya).
d. Bid’ah Makruhah seperti menghias masjid dengan warna cat yang menyolok.
e. Bid’ah Muharromah seperti memperingati maulid Nabi dengan Orkes dan tontonan yang haram. (Hadits no 4)
9. Bila sesuatu yang kita lakukan dan kita anggap ibadah, maka harus kita temukan dalilnya, maksudnya sesuatu itu kita lakukan berdasar ada ayat atau hadits yang kita temukan, baru kita melakukan, bukan mencari cari dasar untuk pembenaran dari prilaku kita, karena melakukan ibadah tanpa ada perintah adalah haram hukumnya. (Qoidah Fiqhiyah).


*A.Adib Masruhan, staf pengajar di Pondok Pesantren Almaghfur, Mranggen, Demak.